MAKALAH
HADIST-HADIST
SIYASAH
“SUKU QURAISY SEBAGAI SALAH
SATU SYARAT PEMIMPIN”
Disusun oleh:
Achmad Fajar
Rifa’i
|
: 13370022
|
Sukron Muzamil
|
: 14370037
|
Abdur Rohman
Zuhdi
|
: 14370019
|
M. Sulton Adibi
|
: 14370060
|
Faragus Adam
|
: 14370021
|
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA/SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Manusia adalah makhluk
tuhan yang paling tinggi dibanding dengan makhluk tuhan lainya. Manusia di
anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana
yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu
mengelola lingkungan dengan baik. allah SWT menjadikan manusia sebagai khalifah
di muka bumi hanya untuk menyembah dan beribadah kepadaNya.
Tidak hanya lingkungan
yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola
dengan baik. dengan berjiwa pemimpin, manusia akan dapat mengelola diri,
kelompok dan lingkungan dengan baik. khususnya dalam kehidupan bernegara.
Dalam kehidupan
bernegara, kehadiran seorang pemimpin menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
rangka untuk menjaga berbagai stabilitas baik politik, ekonomi, keamanan,
maupun sosial. Oleh sebab itu, setiap negara memiliki aturan yang mengatur
tentang persyaratan menjadi seorang pemimpin. Dalam khasanah keilmuan politik
dan pemerintahan Islam, istilah pemimpin dikenal dengan khalifah/amir/imam, dan
segala sesuatu yang terkait dengan kinerja pemimpin dikenal dengan
khilafah/imamah/imarah (kepemimpinan).
Salah satu syarat yang
ditentukan adalah syarat dari keturunan Quraisy. Dasar yang digunakan dalam
memasukkan persyaratan Quraisy adalah hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa
kepemimpinan dari suku Quraisy.[1]Namun
apakah hanya dari kaum Quraisy saja yang boleh menjadi pemimpin , maka untuk
lebih memahami suatu hadis mari kita pelajari bersama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian kepemimpinan ?
2.
Bagaimana Hadis
tentang pemimpin dari Quraisy ?
3.
Bagaimana
Relevansi dengan Konteks sekarang ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian kepemimpinan.
2.
Memahami hadis
tentang pemimpin dari Quraisy.
3.
Memahami
relevansi dengan kontek.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN
SYARAT KEPEMIMPINAN
1. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam
pandangan islam sering di istilahkan dengan beberpa istilah yaitu imamah,
khalifah,dan ulil amri berikut penjelasan.
Imamah adalah bentuk
masdar ( kata benda abstrak ) yang terambil dari kata amm-ya’ummu yang berarti
menuju, meneladani dan memimpin. [2]
Khalifah secara etimologi
berasal dari kata khalafa-yakhlufu, yang memiliki beberpa pengertian,
mengganti, memberi ganti dan menempati tempatnya . Kata khalifah mempunyai makna
pengganti atau penguasa.[3]
Ulil amri artinya ornag yang mempunyai urusan dan
mengurus. Kata ulil al-amr dari segi bahsa ulil adalah bentuk jamak dari kata waliy yang berarti pemilik atau yang
mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukan bahwa mereka
itu banyak sedang kata al-amr adalah
perintah atau urusan.[4]
Menurut Hemhill dan
Coons adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas
suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goals).
Menurut Tannenbaum,
Weschler dan Masarik menyatakan bahwa kepemimpinan adalah Pengaruh antar
pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui
proses komunikasi, ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu”,
Menurut Katz dan Kahn
menyatakan bahwa adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada , dan
berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi.
Menurut George R. Terry
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan untuk mempengaruhi
orang-orang agar mereka berusaha dalam mencapai tujuan-tujuan kelompok atua
organisasi.
Menurut Howard H. Hoyt
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah seni untuk bisa mempengaruhi segala
tingkahlaku dari manusia, dan memiliki kemampuan dalam membimbing seseorang.[5]
2. Syarat-Syarat Kepemimpinan
Menurut
Al- Mawardi dalam kitabnya al-akham al-sultoniyah adapun syarat-syarat menjadi
pemimpin ada tujuh antara lain :
a) Adil
b) Memilki pengetahuan yang membuatnya mampu berijtihad
di dalam berbagai kasus dan hukum
c) Memiliki pancaindra yang sehat, baik telinga, mata
maupun mulut sehingga ia dapat secara langsung menangani persoalan yang
diketahui.
d) Memilki organ tubuh yang sehat dan terhindar dari
cacat yang dapat menghalanginya dari menjalankan tugas dengan baik dan cepat.
e) Memliki gagasan [6]
yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan mengurusi berbagai kepentingan.
f)
Memilki
keberanian dan sifat kesatria yang membuatnya mampu melindungi negara dan
melawan musuh.
g) Memilki nasab dari silsilah suku Quraisy berdasarkan
nash dan Ijma’.[7]
3.
Cara Memilih pemimpin
Ada dua cara menurut
al-Mawardi didalam pemilihan Imam: pertama,
Dewan pemilih yag bertugas memilih imam bagi umat. Kedua, Dewan imam yang bertugas mengangkat salah seorang dari
mereka sebagai imam.[8]
Hal ini menunjukan bahwa
baik dari sumber awal agama Islam atau fakta historis, al-Mawardi tidak
menemukan sistem yang baku dalam pemilihan kepala negara, tetapi pemilihan negara
dalam Islam telah diimplementasikan oleh para sahabat.
B. HADIST
حَدَّثَنَا
قَتَيبَةَ بن سَعِيدٍ حَدَّثَنَا المُغِيرَةَ عن أبِي الزَنَاد عن الأعرَج عن أبِي
هُرَيرَةَ رَضِيَ الله عنه انَّ النّبِيّ صلّى الله عليه و سَلّم قال النَّاسُ
تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ تَبَعٌ لِمُسْلِمِهِمْ
وَكَافِرُهُمْ تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ وَالنَّاسُ مَعَادِنُ خِيَارُهُمْ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا تَجِدُونَ مِنْ
خَيْرِ النَّاسِ أَشَدَّ النَّاسِ كَرَاهِيَةً لِهَذَا الشَّأْنِ حَتَّى يَقَعَ
فِيهِ
“ Manusia akan mengikuti Quraisy dalam
urusan ini ( pemerintahan ) Orang muslim lain akan mengikuti muslim mereka ( Quraisy
). Begitu juga orang kafir akan mengikuti orang kafir mereka ( Quraisy ).Dan
manusia beragam asal usulnya ( Kwalitas Perilakunya). Maka ornag yang baik pada
pada zaman jahiliyah akan menjadi baik pula pada zaman islam bila mereka
memahami ( islam ) dan kalian temui pula bahwa manusia yang paling baik dalam
urusan ( Pemerintahan ) ini adalah orang yang paling membenci ( tidak selera )
terhadap urusan pemerintah ini hingga dia masuk kedalamnya”.
2. Sanad
قَتَيبَةَ
بن سَعِيدٍ حَدَّثَنَا المُغِيرَةَ عن أبِي الزَنَاد عن الأعرَج عن أبِي هُرَيرَةَ
3. Matan
النَّاسُ
تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ فِي هَذَا الشَّأْنِ مُسْلِمُهُمْ تَبَعٌ لِمُسْلِمِهِمْ
وَكَافِرُهُمْ تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ وَالنَّاسُ مَعَادِنُ خِيَارُهُمْ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا تَجِدُونَ مِنْ
خَيْرِ النَّاسِ أَشَدَّ النَّاسِ كَرَاهِيَةً لِهَذَا الشَّأْنِ حَتَّى يَقَعَ
فِيهِ
4. Takhrij
Hadist
Hadist
tentang kepemimpinan Qurays ini, diperoleh dengan cara takhrij menggunakan
aplikasi maktabah asy-syamilah.
Pertama,
buka aplikasi maktabah asy-syamilah lalu buka yang bergambar teropong,
kemudian pilih icon yang akan dicari yaitu, pilih mutuun al-hadist dan
pilih Imam 7 diantaranya Imam Bukhari, Imam Muslim, Musnad Ahmad dan
sebagainya. Setelah itu tulis pada kolom pencarian hadist yang
akan dicari yaitu, annasu tabi’u luquroisin. Maka, muncul hadis-hadis
berkaitan dengan pemimpin dari kaum Quraisy, salah satunya penulis mengambil
hadist riwayat Imam Bukhari.
Kedua,
buka aplikasi lidwa ataupun bisa pada lidwa.com secara online. Setelah terbuka,
pilih kitab Imam Bukhari dan pilih nomor hadist yang akan di cari. Sebagai
akhirnya, muncullah hadist yang akan di inginkan.
5. Hadits
Penguat
حدثنا عبد الله بن مسلمة
بن قعنب وقتيبة بن سعيد قالا حدثنا المغيرة يعنيان الحزامي ح و حدثنا زهير بن حرب
وعمرو الناقد قالا حدثنا سفيان بن عيينة كلاهما عن ابي الزناد عن الاعرج عن أبي
هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي حديث زهير يبلغ به النبي صلى الله
عليه وسلم وقال عمرو رواية الناس تبع لقريش في هذا الشأن مسلمهم لمسلمهم وكافرهم
لكافرهم
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin Maslamah Al Qa’nad dan Quthaibah bin Sa’id keduanya berkata; telah
menceritakan kepada kami? Al Mughirah yaitu Al Hizami. (dalam jalur lain
disebutkan) telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Amru Annaqid
keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah keduanya
dari Abu Az Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah dia berkata, “ Rasulullah SAW
bersabda, dan dalam hadist Zuhair dan sampai kepada nabi Muhammad SAW, dan Amru
juga menyebutkan secara riwayat ,”Manusia itu mengikuti Quraisy dalam
permasalahan ini (kepemimpinan), muslim mereka mengikuti muslim (Quraisy), dan
kafir mereka mengikuti kafir (mereka Quraisy).”
6.
7. Nilai
Hadist
Hadist diatas dapat dinilai sebagai sebuah hadis sahih. Karena telah
memenuhi kriteria sebagai berikut: sanad bersambung, periwayat bersifat adil,
periwayat bersifat dabit dalam hadis tersebut tidak erdapat kejanggalan dan
juga tidak terdapat cacat (illat).
Para ulama berpendapat, sebuah hadis dianggap sahih
oleh Imam Bukhari bila persambungan sanadnya benar-benar ditandai dengan
pertemuan langsung antara guru dan murid atau minimalnya ditandai dengan guru
dan murid hidup dalam satu masa.[10]
C. SYARAH
HADITS
1. Mufradat
النَّاسُ
تَبَعٌ لِقُرَيْشٍ(Manusia mengikuti kepada Quraiys).Maksudnya, dalam hal pemerintahan. Persepsi ini
diindikasikan oleh riwayat lain (Dahulukanlah
kaum Qurays dan jangan mendahului mereka).Riwayat ini dinukil Abdurrazaq
melalui sanad yang shahih.Hanya saja statusnya mursal, tetapi memiliki riwayat
pendukung.
Sebagian berpendapat bahwa hadits itu bermuatan berita
dan dipahami sebagaimana makna tekstualnya.Lalu yang dianggap manusia adalah
sebagian manusia, yaitu bangsa Arab selain Quraiys.
Ibnu Hajar berkata,”hadits ini
dijadikan dalil oleh pengikut Syafi’i untuk menemptkan Imam Syafi’i sebagai
imam dan mendahulukannya daripada orang lain. Akan tetapi,
hadits itu tidak dapat mereka jadikan hujjah, karena yang dimaksud adalah
khalifah.” Menurut Al Qurthubi, bahwa orang yang berdalil dengan hadits itu
untuk mendukung pandangan tersebut telah melakukan kecerobohan dan fanatisme
buta. Namun, ada kemungkinan pernyataan Al Qurthubi ditanggapi bahwa maksud
mereka yang berdalil demikian hanya menyatakan bahwa ‘quraiys’ merupakan salah
satu faktor keutamaan sebagaimana halnya sifat wara’ juga merupakan salah satu faktor kemajuan. Jika ada dua orang
yang memiliki kesamaan dalam semua keutamaan, tetapi salah satunya melebihi
yang lainnya dalam hal wara’, maka
dia lebih diutamakan daripada sahabatnya.Demikian juga halnya dengan ‘Quraiys’. Kalau dua orang memiliki
kesamaan dalam hal ilmu dan keutamaan lainnya, tetapi salah satunya berasal
dari suku Quraiys, dan yang satunya dari selain Quraiys, maka orang yang
berasal dari Quraiys lebih didahulukan untuk menempati posisi imam dan panutan.
Sampai disini, alasannya sudah cukup jelas.Bahkan mungkin kecerobohan dan
fanatik itu justru berada di pihak Al Qurthubi.
وَكَافِرُهُمْ
تَبَعٌ لِكَافِرِهِمْ(Yang
kafir mengikuti kepada kafir mereka). Maksudnya, orang
kafir Quraiys akan mengikuti orang kafir Quraiys pula. Ini sudah menjadi
kenyataan. Sebab bangsa Arab mengagungkan kaum Quraiys karena posisi
mereka yang menempati tanah haram.
Ketika Nabi Muhammad Saw diutus dan mengajak kepada Allah, mayoritas bangsa
Arab lebih memilih diam dan tidak memberi reaksi.Mereka berkata,” Kita menunggu
apa yang dilakukan oleh kaumnya”. Setelah Nabi Muhammad Saw membebaskan kota
Makkah dan kaum Quraisy memeluk agama Islam, maka tindakan mereka diikuti oleh
suku-suku Arab lainnya, sehingga manusia pun masuk dalam agama Allah secara
berbondong-bondong. Selanjutnya pemerintahan seperti yang dicontohkan nabi
terus berlangsung di tangan kaum Quraisy. Maka benarlah, bahwa orang kafir
mereka akan mengikuti kafir Quraisy, juga orang muslim mereka akan mengikuti
muslim Quraisy.
وَالنَّاسُ
مَعَادِنُ(Dan Manusia adalah tambang).Yakni, memiliki asal yang berbeda-beda.Kata ma’aadin adalah bentk jamak dari kata ma’dan, artinya sesuatu yang terpendam
dalam bumi. Terkadang ia sangat berharga dan terkadang pula
tidak. Demikian halnya manusia.
خَيْرِ
النَّاسِ أَشَدَّ النَّاسِ كَرَاهِيَةً لِهَذَا الشَّأْنِ حَتَّى يَقَعَ فِيهِ(yang paling baik di antara mereka pada
masa jahiliyyah, itu pula yang paling baik di antara mereka dalam Islam).
Letak persamaannya adalah jika barang tambang yang ada dalam bumi itu
dikeluarkan maka akan tampak apa yang tersembunyi tanpa mengalami perubahan
sifatnya. Demikian halnya kemuliaan, tidak mengalami perubahan dalam dzatnya.
Bahkan orang yang mulia pada zaman jahiliyah dan dianggap sebagai pemimpin,
jika ia masuk Islam maka kemuliaan itu tetap ada padanya, dimana ia akan lebih
mulia dibanding orang-orang yang masuk Islam dan memiliki kedudukan lebih
rendah darinya pada masa jahiliyah.
(Apabila
mereka memahami agama).Merupakan isyarat bahwa kemuliaan
dalam Islam itu tidak sempurna, kecuali jika seseorang memahami agama. Atas
dasar ini manusia terbagi menjadi empat bagian berikut lawannya masing-masing:
a) orang yang mulia pada masa jahiliyah, lalu masuk Islam
dan memaham agama.Lawannya adalah orang yang rendah pada masa jahiliyah dan
tidak masuk Islam serta tidak memahami agama.
b) orang yang mulia pada masa jahiliyah, lalu masuk Islam
dan tidak memahami agama.Lawannya adalah orang yang rendah pada masa jahiliyah,
dan tidak masuk Islam, tetapi memahami agama.
c) orang yang mulia pada masa jahiliyah, tetapi tidak masuk
Islam dan tidak memahami agama.Lawannya adalah orang yang rendah pada masa
jahiliyah, tetapi masuk Islam dan memahami agama.
d) orang yang mulia pada masa jahiliyah dan tidak masuk
Islam, tetapi memahami agama. Lawannya adalah orang yang rendah pada masa
jahiliyah, tetapi masuk Islam dan tidak memahami agama.
Maksud kemuliaan adalah mereka yang
memiliki akhlak terpuji, seperti dermawan, menjaga kehormatan, santun dan
sebagainya.Lalu menjahui akhlak yang tercela seperti, kikir, jahat, aniaya dan
sebagainya.[11]
2. Biografi Perawi
Nama asli beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari atau lebih
dikenal Imam Bukhari (Lahir 196 H/810 M - Wafat 256
H/870 M) adalah ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli
hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam
kitab-kitab Fiqih dan Hadits, hadits-hadits dia
memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan
julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam
hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk
kepadanya.
Dia diberi
nama Muhammad oleh ayahnya, Ismail bin Ibrahim. Yang sering
menggunakan nama asli dia ini adalah Imam Turmudzi dalam komentarnya
setelah meriwayatkan hadits dalam Sunan Turmudzi. Sedangkan kuniah dia adalah
Abu Abdullah. Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah;
dia dikenal sebagai al-Bukhari. Dengan demikian nama lengkap dia
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin
Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli
810 M). Tak lama setelah lahir, dia kehilangan penglihatannya.
Bukhari dididik dalam
keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab ats-Tsiqat, Ibnu
Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara' dalam arti
berhati hati terhadap hal hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu)
hukumnya terlebih lebih terhadap hal yang haram. Ayahnya adalah seorang ulama
bermadzhab Maliki dan merupakan murid dari Imam Malik, seorang ulama besar
dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh
Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. pada usia 16
tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci
terutama Mekkah dan Madinah, di mana di kedua kota suci itu dia
mengikuti kajian para guru besar hadits. Pada usia 18
tahun dia menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in, hafal
kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin Jarrah bin Malik.
Bersama gurunya Syekh Ishaq, menghimpun hadits-hadits shahih
dalam satu kitab, di mana dari satu juta hadits yang diriwayatkan
80.000 perawi disaring menjadi 7275 hadits.[12]
Bukhari memiliki daya
hafal tinggi sebagaimana yang diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok
dia kurus, tidak tinggi, tidak pendek, kulit agak kecoklatan, ramah dermawan
dan banyak menyumbangkan hartanya untuk pendidikan.
Mengumpulkan dan
menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun
untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits,
mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Ketika di Baghdad, Bukhari sering
bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari
sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah dia
mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia
hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi
yang sangat ketat di antaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut
bersambung dan apakah perawi (periwayat/pembawa) hadits itu tepercaya dan
tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani,
akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya
monumentalnya Al Jami'al-Shahih yang dikenal sebagai Shahih
Bukhari. Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu
Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim.
Kebesaran akan keilmuan
dia diakui dan dikagumi sampai ke seantero dunia Islam. Di Naisabur,
tempat asal imam Muslim seorang Ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari dan
yang menerbitkan kitab Shahih Muslim, kedatangan dia pada tahun 250 H
disambut meriah, juga oleh guru Imam Bukhari Sendiri Muhammad bin Yahya
Az-Zihli. Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim menulis. "Ketika Imam
Bukhari datang ke Naisabur, saya tidak melihat kepala daerah, para ulama dan
warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan kepada
Imam Bukhari". Namun kemudian terjadi fitnah yang menyebabkan Imam Bukhari
meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur,
di Bukhara dia disambut secara meriah. Namun ternyata fitnah kembali melanda,
kali ini datang dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad
Az-Zihli yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari
Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas
permintaan warga Samarkand sebuah negeri tetangga Uzbekistan, Imam
Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil
sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun
disana dia jatuh sakit selama beberapa hari, dan Akhirnya meninggal pada
tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun
kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas Salat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.
3. Keterkaitan
Hadits dengan Ayat
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
|
‘’Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.’’[13]
Itulah dunia yang
memiliki gagasan yang mulia tentang persatuan umat manusia yang berbeda jenis
dan berlainan suku. Dunia ini memiliki satu pertimbangan yang berfungsi menata
seluruh umat manusia, yaitu pertimbangan Allah yang bersih dari kepentingan
hawa nafsu dan dari kekeliruan.[14]
Ayat ini menjelaskan
beberapa kebenaran agung yang meluksiskan berbagai tanda dari dunia yang adil,
mulia, bersih dan sehat, maka dikemukakan tanda-tanda keimanan. Dengan
identitas keimanan inilah kaum mukminin diseru untuk menegakkan dunia tersebut.
Allah menciptakan
manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), dan
menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kuligt
bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi untuk saling mengenal dan menolong.
Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan
keturunan, kepangkatan atau kekayaan karena yang mulia diantara manusia disisi
Allah hanyalah orang yang bertakwa kepada-Nya.
Kebiasaan manusia
memandang kemuliaan itu ada sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan.
Padahal menurut pandangan Allah, orang yang mulia itu adalah orang yang paling
bertakwa kepada Allah. Mengapa manusia saling menolok-olok sesama saudara hanya
karena Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah
yang berbeda-beda, sedangkan Allah menjadikan seperti itu agar manusia saling
mengenal dan saling tolong menolong dan kemaslahatan-maslahatan mereka
yang bermacam-macam. Namun tidak ada kelebihan bagi seseorangpun atas yang
lain, kecuali dengan taqwa dan keshalihan, disamping kesempurnaan jiwa bukan
dengan hal-hal yang bersifat keduniaan yang tidak pernah abadi.
Diriwayatkan pula dari Abu Malik
Al-Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, ”sesungguhnya Allah tidak
memandang kepada pangkat-pangkat kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan
tidak pula pada tubuhmu, dan tidak pula pada hartamu, akan tetapi memandang
pada hatimu. Maka barang siapa mempunyai hati yang
shaleh, maka Allah belas kasih kepadanya. Kalian tak lain adalah anak cucu
Adam. Dan yang paling dicintai Allah hanyalah yang paling bertaqwa diantara
kalian,”. Jadi jika kalian hendak berbangga maka banggakanlah taqwamu, artinya
barang siapa yang ingin memperoleh derajat-derajat tinggi hendaklah ia
bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha tahu tentang kamu dan amal perbuatanmu, juga
maha waspada tentang hatimu, maka jadikanlah taqwa sebagai bekalmu untuk
akhiratmu.[15]
Ayat selanjutnya menceritkan bahwa:[16]
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Pernyataan pada ayat diatas
dimaksudkan kepada “manusia” secara umum, untuk mengembalikan mereka kepada
Tuhan yang telah menciptakan mereka, yang menciptakan mereka “dari diri yang
satu”, dan darinya Allah menciptakan istrimu,” dan “dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan wakita dan laki-laki yang banyak”.[17]
Hakikat-hakikat yang yang fitrah ini
merupakan hakikat-hakikat yang sangat besar, sangat dalam dan sangat berat.
Seandainya manusia itu mau menggunakan pendengaran dan hatinya, maka hal itu
akan menjamin terjadinya perubahan-perubahan yang besar di dalam kehidupan
mereka, dan akan memindahkan mereka dari segala macam bentuk kejahiliahan
kepada iaman, kebenaran, petunjuk dan kemajuan yang sebenarnya dan yang layak
bagi manusia dan jiwa itu serta layak bagi makhluk yang dicipatakan oleh
Tuhanmu Yang Maha Pencipta.
Jalinan yang pertama
yaitu jalinan kepada Allah. Kemudian setelah jalinan koneksi rububiyyah
‘ketuhanan’ yang merupakan pangkal dari awal segala koneksi dan berikutnya
adalah koneksi rahim (kekluargan). Maka, terwujudlah keluarga yang pertama yang
terdiri dari seorang laki-laki dan seorang wanita, yang keduanya dari dari diri
yang satu dengan tabiat dan fitrah yang satu. Dari keluarga yang pertama ini
berkembangbiaklah laki-laki dan wanita yang banyak, yang semuanya secara
mendasar kembali pada koneksi rububiyyah, dan setelah itu koneksi keluarga yang
atas semua ini berdirilah sistem kemasyarakatan manusia.
Bertakwalah kamu kepada Allah yang
kamu saling berjanji dengan mempergunakan namanya, sebagian kamu meminta
sebagian yang lain agar memenuhi janji dan transaksinya dengan mempergunakan
nama-Nya, dan sebagian kamu bersumpah kepada sebgian yang lain dengan
mempergunakan nama-Nya. Bertakwalah kepada tuhanmu dalam segala hubungan koneksi dan muamalah
kamu.
4.
Asbabul Wurud
Tidak perlu mengindahkan pendapat Dhirar[18]
yang cenderung nyeleneh dan membolehkan mengangkat imam ( Khalifah ) dari suku
mana saja. Pasalnya pada peristiwa Saqifah [19],
Abu Bakar ra pernah menolak pilih
orang-orang Anshar yang membaiat Sa’ad ibn Ubadah untuk di jadikan khalifah dengan mengajukan
hujah berupa sabda Nabi saw : “ para
pemimpin harus berasal dari suku Quraisy “Akhirnya orang-orang Anshar
mengurungkan niatnya dan mundur dari pengangkatan pemimpin seraya berkata “
Jika demikian , pengangkatan amir ( pemimpin ) saja dari kami dan dari kalian.
Kemelut
mengenai syarat syahnya seorang pemimpin yang di syaratkan dari keturunan Quraisy
memang sudah menjadi isu hangat dan di jadikan bahan perdebatan yang panas
sejak dulu hingga kini. Bahkan yang sangat parah lagi, di dalam sejarah
perpolitikan Islam Hadits Nabi mengenai suku Quraisy ini selalu di jadikan
legitimasi untuk meraih kekuasaan dengan menafikan keturunan non Quraisy, salah
satunya adalah Umayyah yang sangat marah sekali ketika mengetahui ada seorang
pemimpin yang bukan dari Quraisy.
Hampir di seuruh kitab Hadits meriwayatkan
mengenai syaratnya seorang pemimpin dari suku Quraisy, sehingga sebagian besar
ulama bersepakat bahwa syarat tersebut menjadi hal yang mutlak untuk mengangkat
khalifah.
Salah satu ulama yang sangat keras
terhadap peraturan tersebut adalah Al-Mawardi, dia begitu tegas dan bersikukuh
bahwa seorang khalifah harus daru suku Quraisy. Pendapat beliau di dasarkan
pada peristiwa Abu Bakar Ra. ketika meminta orang-orang Anshar yang telah
membaiat Sa’ad bin Ubadah untuk mundur dari jabatan Khalifah (Imamah) pada
peristiwa saqifah karena berargumen dengan sabda Nabi; ”Pemimpin-pemimpin
berasal dari Quraisy”. Kemudian orang-orang Anshar mengurungkan
keinginannya terhadap jabatan Khalifah (Imamah) dan mundur aripadanya.
Mereka berkata;”Para Gubernur dari kami dan dari kalian! Mereka tunduk kepada
riwayat Abu Bakar dan membenarkan informasinya. Mereka menerima dengan lapang dada ucapan Abu
Bakar Ra. “Para pemimpin berasal dari kamu, sedang menteri-menteri berasal dari
kalian. Nabi bersabda;”Dahulukan orang Quraisy, dan jangan kalian
mendahuluinya”.[20]
Berbanding terbalik
dengan pendapat syiah dan Khawarij, menurut syiah seseorang yang akan menjadi
seorang khalifah haruslah dari keturunan Nabi. Sementara menurut kaum Khawarij
dan sekelompok Mu’tazilah berkata;”Bisa saja Imam (pemimpin tertinggi) bukan Quraisy.
Bahkan yang berhak memegang kepemimpinan adalah yang menegakan Kitab Allah dan
Sunnah, baik dia Arab atau Ajam (non Arab). Dhihar bin Amr berlebihan hingga ia
berkata,”mengangkat pemimpin selain Qurasy lebih utama karena lebih sedikit
keluarganya maka jika menyimpang mudah menurunkannya”[21]
Syarat
keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dalam pengangkatan
Imam atau Khalifah dari jumhur para ulama dan dalam masalah ini terdapat
perbedaan yang besar di antara para ulama yang menganggapnya sebagai syarat
in’iqad (keharusan) dalam mengakadkan khalifah —yang berpendapat bahwa selain
orang Quraisy tidak boleh menjadi khalifah— dengan kalangan yang memasukkannya
sebagai syarat afdlaliyyah (keutamaan) semata. Bahkan para mufakkirin
kontemporer semacam Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah
As-Syar’iyyah hal 28 dan Dr. Al-Khurbuthli dalam kitab Al-Islam wal Khilafah
hal. 59, mereka menolak keshahihan hadits tersebut dan menganggapnya tidak
jelas asal usulnya dalam syara’ berdasarkan ketiadaan nash yang shahih yang
menunjukkannya.
D.
Relevansi Dengan Isu Terkini
1.
Relevansi Hadist Study Kasus Keraton Yogyakarta
Pada zaman awal-awal islam kondisi social
budaya pada kala itu di dominasi dengan sistem kesukuan, baik itu dari
fanatisme dan keagungan nasabnya. Suku Quraisy merupakan suku yang nasabnya
paling mulia karena keturunan dari tokoh-tokoh dan orang suci serta terkenal
sebagai suku yang sangat besar kekerabatannya serta sangat kuat tali
persaudaraannya.
Hal
tersebut menjadi tolak ukur dalam menganalogikan kajian hadits diatas dengan
isu terkini, yakni dengan mengkaji Keraton Yogyakarta. Benang merah diantara
keduanya terletak pada historical culture. Sejarah peradaban suku Quraisy bisa
tergambarkan dalam Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki sistem monarki,
dimana para pemimpin, terutama Gubernur Yogyakarta adalah seorang Raja dari
keraton Ngayogyokarto Hadiningrat yang dipercaya sebagaiketurunan tokoh-tokoh
mulia, berbudi luhur serta keagungan nasabnya. Berikut uraian terkait Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Dilihat dari
sudut pandang secara teoritis, sistem Pemerintahan di Daerah Istimewa
Yogyakarta dapat dikatakan menganut/memakai sistem monarki yang terlihat dari
pemilihan kepala daerah/Gubernur yang dilakukan dari keturunan sultan/raja
terdahulu atau turun-temurun yang dimana pemilihan kepada daerah tersebut
berbeda dengan Propinsi pada umumnya.
Namun
bila dinilai dari sudut pandang sejarah serta keadaan yang ada Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta juga tidak bisa dikatakan memakai sistem monarki yang artinya,
Indonesia adalah Negara demokrasi yang segalanya ditentukan dan diperuntukan
oleh dan kepada rakyat, jadi rakyatlah yang berkuasa penuh didalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah atas kehendak rakyat, dimana rakyat terutama masyarakat Yogyakarta yang
lebih nyaman hidup dengan model/sistem kesultanan yang sudah melekat dari nenek
moyang mereka sehingga masyarakat merasa tentram dan nyaman serta tidak adanya
paksaan atas kepemilihan kepala daerah/gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang
dilakukan secara turun-temurun. Hal itu terlihat dari dengan adanya berbagai
dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Yogyakarta kepada Sri Sultan
Hamengkubuwono X yang merupakan raja sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
setelah adanya pernyataan dari Presiden tentang kemonarkiaan Yogyakarta.
Dan yang
kedua adalah perlunya adanya ketegasan dari status keistimewaan Yogyakarta dari
Pemerintah agar didalam penilaian tidak mempersepsikan Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai daerah monarki. Seperti halnya diberlakukannya Undang-undang di dalam UUD
1945, tentang pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam pasal 18 serta
perubahan-perubahannya. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 Perubahan Kedua menyebutkan
bahwa "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang." Aturan ini Pasal 18 UUD 1945 tersebut kemudian diturunkan
melalui UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU 32 Tahun
2004, banyak sekali diatur mengenai tentang daerah-daerah khusus, yang antara
lain termasuk daerah otonomi khusus misalnya Papua dan Aceh. Secara
jelas Pasal 225 menyebutkan bahwa "Daerah-daerah yang memiliki status
istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang ini
diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain".
Artinya, pemerintah daerah tersebut karena keistimewaan tidak sepenuhnya tunduk
pada UU 32 Tahun 2004. Namun sampai saat ini Yogyakarta belum memiliki UU yang
secara khusus mengatur tentang keistimewaannya, terutama pasca-perubahan UUD
1945. Sementara Aceh dan Papua telah memiliki UU yang khusus tentang
pengaturan pemerintah daerahnya. Aceh diatur melalui UU No 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, sementara Papua diatur melalui UU No 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Oleh karena itu, diharapkan
Pemerintah dapat memberikan kejelasan tentang status dari Keistimewaan
Yogyakarta dengan di berlakukannya Undang-Undang yang memuat tentang
keistimewaan Yogyakarta seperti halnya yang dilakukan kepada Aceh dan Papua.
Dari undang-undang tersebut nantinya akan lebih memperjelas struktur, bentuk
dan posisi Yogyakarta didalam keberadaannya didalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta adanya kepastian dan kejelasan tentang keistimewaan yang
diberikan sehingga masyrakat khususnya masyarakat Yogyakarta lebih mengerti dan
nyaman dengan adanya perhitungan keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
yang terpenting adalah dengan diberlakukannya UU yang mengatur akan
keistimewaan Yogyakarta maka predikat tentang kemonarkian menjadi hilang dan
menjadikan pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta tetap belandaskan azas
demokrasi.[22]
2.
Relevansi Hadits
dan Study Kasus dengan Teori Political Culture
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang
dimiliki bersama oleh masyarakat.
Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga
di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya
politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang
ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi
khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka
menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka
dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka
miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat
dan peranan mereka di dalam sistem politik.[23]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kepemimpinan atau dalam
Islam disebut juga sebagai Imam, Khilafah dan Ulil Amri yang secara harfiah
bermakna memimpin, pengganti dan orang yang mempunyai urusan. Syarat
kepemimpinan menurut al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Shukthoniah meliputi
adil, memiliki pengetahuan, memiliki panca indra dan organ tubuh yang kuat,
memiliki gagasan, keberanian serta memiliki nasab dari silsilah suku Quraisy.
Salah satu syarat
tersebut, yakni memiliki silsilah nasab dari suku Quraisy, telah dijelaskan
dalam berbagai riwayat hadits. Dengan redaksi “ mausia akan mengikuti quraisy
dalam urusan ni (pemerintahan). . .’’ menjadi pedoman al-Mawardi sekaligus
perdebatan para ulama Islam, mengingat sejarah kelam kaum Quraisy sebelum
masuknya Islam.
Perdebatan semakin ramai
ketika penafsiran hadits tersebut hanya secara tekstual, dengan mengibakan
faktor lain secara luas. Sejarah membuktikan kondisi sosial budaya bisa
memperkuat hadits kepemimpinan Quraisy tersebut mengingat pada zaman itu
masyarakat hidup dalam sistem kesukuan nasab, kekerabatan serta kuat tali
persaudaraannya. Hal ini pula menjadi poin penting hadits tersebut dalam
relevansinya dengan isu saat ini, yaitu sistem monarki Daerah Istimewa
Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari jilid
18. Jakarta: Pustakaazzam, 2008.
Al-mawardi. Al-Ahkam
Ash-sulthaniyah ( sistem pemerintahan khalifah islam ) Qisthi Prres;
Jakarta.
As-Salus,
Ali ahmad, Aqidatul imamah ( imam dan
Khalifah ) , terj. Asmuni Sholihan amakhsyari. Jakarta ; Gema Insani press, 1997.
Kemenag
RI; Al-Qur’an
M.
Alfatih, Studi Kitab Hadis.
Yogyakarta: Teras, 2003.
Munawwir,Ahmad
Warson. kamus al-Munawwar. Surabaya : pustaka progressif.
Mustofa,
Ahmad. Al-Maraghi Terjemah Tafsir
Al-Maraghi, Semarang, CV. Toha Putra, 1993.
Quthb,
Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jl. 10
. Jakarta: Gema Insani, 2004.
Shihab,
M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Vol.11
. Jakarta Lentera Hati, 2009 .
Lidwa.com
[1]
http://ainuly90.blogspot.co.id/2012/04/hadis-tentang-kepemimpinan-dari-Quraisy.html
[2]Ali ahmad as-Salus, Aqidatul imamah ( imam dan Khalifah ) ,
terj. Asmuni Sholihan amakhsyari, ( Jakarta ; Gema Insani press, 1997),hlm. 5.
[6] Didalam manuskrip kedua dan
ketiga tertulis : shihhah ar-ra’yi ( Memilki
gagasan yang cemerlang )
[7] Imam al-mawardi,Al-Ahkam Ash-sulthaniyah ( sistem pemerintahan khalifah
islam ) Qisthi Prres; Jakarta, hal 11.
[10]
M. Alfatih, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2003),hlm. 47.
[11]Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari jilid 18,(Jakarta:
Pustakaazzam, 2008), hlm. 17-21
[12]https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdullah_Muhammad_al-Bukhari diakses pada tanggal 28 November
2016.
[14] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jl. 10 ,(Jakarta:
Gema Insani, 2004), hlm. 408.
[15] Ahmad Mustofa
Al-Maraghi Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang, CV. Toha
Putra, 1993). Hal 235-238
[18]Nama lengkap adalah Dhirar ibn
Amr al-ghathfani . ia adalah seorang hakim dari kalangan pembesar Mu’tazilah.
Akan tetapi, ia berselisish dengan mereka ketika tidak berhasil merebut kursi kepemimpin di
daerahnya.
[19] Saqifah Bani Sa’qidah adalah
sebuah tempat sidang pertemuan antara kaum anshar dan kaum muhajirin untuk
membicarakan sosok penganti Nabi saw.
[22]http://sophost.blogspot.co.id/2011/08/makalah-pemerintahan-monarki-daerah.html
[23]http://fatmasusanti-civiceducation.blogspot.co.id/2012/09/teori-budaya-politik.htmllink UIN Sunan Kalijaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar