MAKALAH
“AKIBAT DAN PUTUSNYA PERNIKAHAN ”
Dosen :
Dr. H.
Riyanta M.Hum
Disusun Oleh :
SUKRON MUZAMIL (14370037)
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa kehidupan rumah
tangga tidak lepas dari permasalahan, baik masalah yang sepele hingga masalah
yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar terhindar dari pertengkaran yang
berkepanjangan. Sehingga hal ini
membutuhkan saling memahami antar suami istri, perlu mengetahui hak dan
kewajiban suami terhadap isteri atau hak dan kewajiban isteri terhadap suami.
Dewasa ini banyak kasus perceraian yang
terjadi di kalangan masyarakat, apapun alasannya mengapa kalangan masyarakat
sering terjadi kasus perceraian, mungkin
mereka belum banyak memahami hak dan kewajiban suami terhadap istri atau
sebaliknya serta dampak setelah percerian. Maka dipandang perlu untuk kita
mengkaji dan membahas hal tersebut secara mendalam.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang bisa
diambil adalah:
1.
Apa
saja hak dan kewajiban suami istri ?
2.
Bagaimana
perceraian itu bisa terjadi? Dan apa saja alasan yang bisa diterima dalam
perceraian?
3.
Apa
saja akibat hukum dari perceraian?
C. Tujuan
Pembuatan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini ditekankan pada:
1.
Penjelasan
mengenai hak dan kewajiban suami istri,
2.
Menerangkan
tentang proses perceraian dan alasan perceraian,
3.
Menyebutkan
akibat hukum dari percerain yang terjadi.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Hak
Dan Kewajiban Suami Istri
Hak
adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah
sesuatu yang harus dikerjakan. Hak adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry dalam buku
karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga
Yang Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi
dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima
Setelah
calon suami dan istri menikah, maka mereka mempunyai beban yang di letakkan
oleh undang-undang yaitu memikul kewajiban yang luhur, mereka mempunyai hak dan
kewajiban yang seimbang atau sama dalam kehidupan rumah tangga dan dalam
pergaulan hidup dalam masyarakat , mereka tidak boleh diizinkan saling
mengekang, menghalangi satu sama lain. Mereka berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
Undang-undang
menetapkan suami sebagai kepala rumah tangga, dia adalah kapten sebuah kapal
yang sednag mengarungi samudera yang luas menuju ke pantai bahagia. Sedangkan
istri sebagai ibu rumah tangga. Namun di sisi lain Al-qur’an dalam surat
al-Baqarah ayat 228 menerangkan bahwa para wanita memiliki hak yang sama dengan
laki-laki. [1]
Menurut
Kompilasi Hukum Islam Hak Dan Kewajiban Suami Isteri di atur pada BAB XII
terdapat pasal 77,80 dan 83 sebagai berikut :
(1)
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi
sendi dasar dan susunan masyarakat
(2)
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
(3)
Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka,
baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya;
(4)
suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5)
jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama
Menurut
KUH Perdata Hak dan Kewajiban Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab VI yang
berbunyi :
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masi dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masi dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
2.
Pengelolaan
Harta Secara Pribadi
Tujuan perkawinan adalahh bersama-sama
hidup di suatu masyarakat dalam suatu ikatan perkawinan. Salah satu syarat
untuk tetap hidup , manusia membutuhkan makanan, minuman dan pakaian. Pendek
kata manusia membutuhkan harta kekayaan yang di gunakan suami istri untuk
bertahan hidup.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang harta benda dalam perkawinan hanya di atur oleh pasal 35,36 dan 37 Undang- Undang Perkawinan No.1 tahun 1974,
yaitu :
-
Harta Bawaan
-
Harta bersama suami istri
-
Bila terjadi perceraian , harta di atur
menurut hukumnya masing-masing yaitu Hukum Agama, Hukum adat, Hukum lainnya.
Di Indonesia berlaku dua sistem
peraturan tentang harta benda perkawinan, yang satu sama lain berhadapan secara
diam artinya berseberangan satu sama lain, Yakni : Hukum Islam dan Hukum BW.
Menurut Hukum Islam kekayaan suami istri
masing-masing terpisah satu dengan lainnya. Harta benda milik masing-masing
pihak pada waktu perkawinan di mulai ( berjalan ) tetap menjadi milikinya
masing-masing.
Sedangkan menurut Hukum BW kekayaan
suami istri apabila tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara mereka
maka akibatnya ialah percampuran kekayaan suami istri menjadi milik satu
kekayaan milik orang berdua bersama-samadan bagian masing-masing kekayaan itu adalah
separuh.
Sementara menurut Hukum Adat , kekayaan
suami istri adalah tengah-tengah antara sistem hukum Islam dan sistem hukum
BW., artinya kemungkinan dalam suatu perkawinan sebagian dari kekayaan
masing-masing suami dan istri terpisah satu dari yang lain. Dan ada kemungkinan
bahwa harta suami istri akan tercampur.
3.
Katagori
Anak Keturuan Yang Sah Dan Tidak Sah
Tujuan perkawinan adalah membentuk
kehidupan masyaraka yang kecil yaiu antara suami, istri dan anak-anak mereka
yang harmonis. Anak adalah hasil perhubungan antara suami dan istri. Untuk
membuktikan siapakah ibunya anak lebih mudah daripada pembuktian siapakah
ayah/bapaknya.
Menurut hukum BW, dengan perkawinan
suami istri memperoleh keturunan. Yang di maksud dengan “ keturunan” di sini
adalah hubungan darah antara bapak, ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak,
ibu dan anak ada hubungan biologis. Anak-anak yang di lahirkan dari hubungan
biologis ini dan di tumbuhkan sepanjang perkawinan adalah anak-anak sah.Sedangkan anak-anak lain yakni anak-anak yang
mempunyai ibu dan bapak yang tidak terikat dengan perkawinan di sebut anak tidak sah atau anak di luar nikah.
Jadi terhadap anak yang lahir di luar nikah terdapat hubungan biologis hanya
dengan ibunya tetapi tidak ada hubungan biologis dengan ayahnya.
Menurut hukum islam , anak yang sah
adalah anak yang di lahirkan akibat
persetubuhan setelah di lakukan nikah. Untuk mengetahui anak itu sah , disini
Al-qur’an memberikan petunjuk kepada manusia dengan firman “ kami perintahkan
manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya
dengan susah payah. Dan mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.
( Al-Ahqaf ayat 15 . Jadi masa hamil dan masa menyusui itu selama 30 bulan atau
dua tahun enam bulan. Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 233 menjelaskan
masa menyusui bagi anak yang di lahirkan oleh ibunya tersebut adalah dua puluh
empat bulan atau dua tahun. Biasanya anak anggap sudah Baligh yaitu usia 15 th.
Sedangkan menurut Undang-Undang
perkawinan No.1 tahun 1974 hal kedudukan anak di atur dalam pasal 42-44.
Dikatakan “ anak sah ” adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah, sedangkan “ anak diluar nikah” adalah anak yang do
lahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.[2]
4. Hubungan
Darah
Menurut pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, bahwa
identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya, yang dituangkan
dalam akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran dimaksud didasarkan pada surat
keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak
diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan
pada keterangan orang yang menemukannya. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan
dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini, setiap anak diwajibkan
untuk memiliki identitas diri yang dibuktikan dengan akta kelahiran dan ini
menjadi kewajiban orang tua atau orang yang menemukannya.
Kewajiban Orang Tua terhadap
Anak
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 45 UUP, dinyatakan bahwa:
(1)
Kedua
orang tua wajib untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)
Kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.
Dalam hukum Islam, seorang ibu jauh lebih berhak terhadap
pemeliharaan anak dari seorang ayah. Lebih diutamakan ibunya daripada ayah
dalam pemeliharaan ini berlaku sejak anak itu dilahirkan. Oleh karena itu, ayah
tidak mempunyai hak memisahkan anak dari ibunya disaat anak itu masih menyusu,
sedangkan keperluan anak kepada ibunya sesudah menyusu tidak kurang dari
kebutuhan diwaktu masih menyusu.
Masa mengasuh anak menurut mazhab hanafi habis kalau anak
itu sudah tidak membutuhkan pemeliharaan wanita dan sudah sanggup melaksanakan
apa-apa keperluannya yang vital. Untuk anak putri diperpanjang sampai ia
dewasa, tanpa adanya ketentuan berapa tahun umurnya menurut pendapat yang lama.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 98
Kompilasi Hukum Islam, yang menetapkan bahwa batas pemeliharaan anak sampai
usia dewasa atau mampu berdiri sendiri dalah 21 tahun, sepanjang anak itu tidak
cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kemudian
menurut ketentuan dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, bahwa pemeliharaan
anak belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun dalam hal terjadinya perceraian adalah hak ibunya. Bagi yang
sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
Semua biaya pemeliharaan anak tadi ditanggung oleh ayahnya.
Orang tua juga dituntut untuk menyelenggarakan nafkah
bagi anak-anaknya sesuai dengan kemampuan dan kadar rezeki yang ada padanya.
Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk memberi nafkah kepada anak-anak dan
ibunya, sedangkan ibunya berkewajiban untuk mengasuh, memelihara, dan mendidik
anak-anaknya tersebut. Tugas penyapihan atau penyususan paling lama 2 tahun dan
dapat dihentikan sebelum 2 tahun jika ada persetujuan di antara kedua suami
istri. Apabila untuk jangka waktu tersebut, ibunya tidak sanggup menyusui
anaknya, maka atas kesepakatan bersama dapat saja dialihkan kepada orang lain
dengan memberikan upah yang patut kepada ibu susuannya. Istri yang dicerai
dapat menuntut agar suaminya memberi upah yang patut atas penyapihan atas
penyususan anaknya tersebut.
5. Putusnya
Perkawinan
Istilah ‘putus’ dapat diganti istilah lain (ander word), yaitu “penghentian” atau
“pecah” perkawinan, tiga istilah tersebut mempunyai pengertian (makna) sama.
“Pecah” menurut kamus berarti terbelah menjadi beberapa bagian; retak; atau
rekah; bercerai berai; sedang “putus” berarti tidak berhubungan lagi; berpisah,
selesai atau rampung dan “henti” berarti stop, tidak boleh jalan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38 UUP mengenai
penyebab putusnya perkawinan, ditetapkan bahwa:
“perkawinan dapat putus karena:
a.
Kematian;
b.
Perceraian;
dan
c.
Atas
keputusan pengadilan.”
a. Putusnya
Perkawinan karena Kematian
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya
hubungan perkawinan dikarenakan salah seorang dari suami istri meninggal dunia.
Secara hukum sejak meninggal dunianya salah seorang suami istri, putuslah
hubungan perkawinan mereka. Suami atau istri yang masih hidup dibolehkan untuk
menikah lagi, asal memenuhi kembali syarat-syarat perkawinan.
b. Putusnya
Perkawinan karena Perceraian
Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian adalah
putusnya ikatan perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap
istrinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut agama Islam, yang dapat pula
disebut dengan “cerai talak”. Cerai talak ini selain diperuntukkan bagi seorang
suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan
menceraikan istrinya, juga dapat dimanfaatkan oleh istri jika suami melanggar
perjanjian taklik talak.
Dalam Pasal 39 UUP dinyatakan:
(1)
Perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Untuk
melakukan perceraian itu, harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Dalam hukum Islam,
jika terjadi perselisihan yang tajam antara suami istri, hendaklah hendaknya
istri jangan buru-buru minta talak atau suami segera menjatuhkan talak. Islam
mengajarkan, bahwa talak itu baru bisa dijatuhkan apabila dua juru pendamai (hakam) yang masing-masing diangkat dari
pihak keluarga suami dan istri ternyata tidak berhasil dalam usahanya untuk
mendamaikan kedua suami istri itu mengenai hal yang menjadi perselisihan di
antara mereka. Diaturnya cara yang demikian sebagai upaya untuk mempersukar
terjadinya perceraian. Perbuatan perceraian walaupun suatu perbuatan yang
halal, tetapi tidak disenangi oleh Allah SWT.
Hakam yang diberi
tugas untuk menyelesaikan dan mendamaikan suami istri yang berselisih itu juga
harus bertindak dan bersikap jujur dan adil, tidak boleh memihak pada salah
satu dari suami istri yang dihakaminya, sehingga mengakibatkan kesimpulan yang
diambil bernilai subyektif dan lebih mengarah kepada percepatan terjadinya
perceraian. Juru damai harus berupaya mendamaikan mereka kembali, jangan sampai
memilih peceraian sebagai alternatif terbaik bagi mereka.
Berdasarkan perspektif hukum Islam, jenis-jenis talak
atau perceraian dapat dibedakan atas:
a.
Apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami merujuk
istrinya kembali, maka jenis-jenis talak itu meliputi:
1.
Talak
raj’i, yakni talak yang dijatuhkan suami, di mana suami berhak rujuk selama
istri masih dalam masa iddah tanpa
harus melangsungkan akad nikah baru. Talak seperti ini adalah talak kesatu atau
talak kedua.
2.
Talak
ba’in, terdiri atas:
i.
Talak
ba’in sughraa (kecil), yakni talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah, seperti talak yang terjadi sebelum adanya hubungan seksual (qabla al-dukhul), talak dengan tebusan,
atau khuluk dan talak yang dijatuhkan
oleh Pengadilan Agama.
ii.
Talak
ba’in kubraa (besar), yakni talak yang tidak dapat dirujuk dan tidak dapat
dinikahkan kembali, seperti talak yang terjadi untuk ketiga kalinya dan talak
sebab li’an.
b.
Apabila
ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka jenis-jenis talak itu
meliputi:
1.
Talak
sunni (halal), yakni talak yang diperbolehkan yang dijatuhkan terhadap istri
yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
2.
Talak
bid’i (haram), yakni talak yang dilarang yang dijatuhkan pada waktu istri dalam
keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut.
Ketentuan
dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pengulangan
bunyi Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP menyebutkan alasan-alasan yang dapat
dijadikan sebagai dasar bagi perceraian, yaitu:
a.
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.
Salah
satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c.
Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d.
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan
yang membahayakan terhadap pihak lain;
e.
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
f.
Antara
suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selain
itu, ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan alasan lainnya
yang dapat dijadikan dasar bagi perceraian, yakni:
a.
Suami
melanggar taklik talak;
b.
Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah
tangga.
Penyebutan
alasan-alasan perceraian dalam pasal-pasal perundang-undangan dimaksud bersifat
limitatif, maksudnya membatasi kemungkinan putusnya perkawinan dengan
perceraian.
c. Putusnya
Perkawinan karena atas Keputusan Pengadilan
Putusnya
perkawinan karena atas keputusan pengadilan adalah putusnya ikatan perkawinan
yang disebabkan adanya gugatan perceraian seorang istri yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam atau yang disebabkan adanya gugatan perceraian
seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, yang dinamakan dengan
“cerai gugat”.
6.
Alasan-alasan
Perceraian
Dalam sebuah pernikahan untuk menyatukan
sepasang suami istri pasti selalu terdapat perbedaan, dalam Faktor-faktor
psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup, dan
sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan
krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.
Munculnya pandangan hidup yang berbeda
antara suami dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya,
berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya
krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian
menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal
yang harus ditampung dan diselesaikan.
Dari hal tersebut tidak banyak yang
bertahan utuh dalam segi rumah tangganya yang akhirnya berujung perceraian,
banyak alasan-alasan yang menjadi faktor terjadinya sebuah perceraian. Di
antaranya terdapat dalam KUH Perdata pasal 209 “alasan-alasan yang dapat
mengakibatkan perceraian adalah dan hanyalah sebagai berikut” :
1)
Zinah ,
2)
Meninggalkan tempat tinggal bersama
dengan itikad jahat.
3)
Penghukuman dengan penjara lima tahun
lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang di ucapkan setelah
perkawinan.
4)
Melukai berat atau menganiaya, dilakukan
oleh si suami atau si istri terhadap istri atau suaminya, yang demikian,
sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga
mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.[3]
Sama halnya dengan alasan-alasan perceraian yang
tertera dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah yaitu :
1)
Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3)
Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
4)
Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5)
Salah satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri;
6)
Antara suami dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.[4]
- Tata
Cara Perceraian ( Talak dan Gugat)
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu
yang dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara
untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan
perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah
perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
(selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.[5]
Masalah perceraian memiliki mekanisme
serta cara-cara yang diatur
secara lengkap dan menyeluruh di dalam undang-undang, sehingga lebih
menjamin adanya kepastian hukum di dalam perceraian.[6]
Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang
mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
a. Cerai talak
(suami yang bermohon untuk cerai)
Apabila suami yang mengajukan permohonan kepengadilan
untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujui disebut cerai talak.
hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA :
1.
Seorang suami yang beragama Islam yang akan
menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan
sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2.
Permohonan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin
pemohon.
3.
Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri,
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
4.
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di
luar negri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama
Jakarta pusat.
5.
Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah
istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[7]
Sesudah permohonan cerai talak diajukan kepengadilan
agama, pengadilan agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang
menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut, sebagai mana tersebut dalam :
Pasal 68
1)
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh
majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
2)
Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam
sidang tertutup.[8]
Pasal 131
KHI
1)
Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh
hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2)
Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati
kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan
agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3)
Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap,
suami mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh
istri atau kuasanya.
4)
Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6
(enam) bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar
talak baginya mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan
tetap utuh.
5)
Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan
agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan
bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar
talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal
suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan
kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama.[9]
b. Cerai gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus
sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang
kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan
permohonan dimaksud. Oleh karena itu khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah
perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau
uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam :
Pasal 73
UUPA
1)
Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,
kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin tergugat.
2)
Dalam hal
penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3)
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman
diluar negri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[10]
Mengenai
alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan :
1)
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan
salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan
perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan keputusan
pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74
UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan
pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka dikatakan masih terlampau
“premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar
gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana
mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
2)
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa
tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat
untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75 UUPA).[11]
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat
persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari
keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim. (Pasal 76
ayat (2) UUPA).[12]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggungat atau
tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam
satu rumah, Menurut pasal 77 UUPA menyebutkan bahwa tata cara pemberian izin
dapat atas permohonan istri atau pertimbangan pengadilan sendiri.[13]
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas
permohonan penggugat, pengadilan dapat :
a)
Menerima nafkah yang ditanggung suami.
b)
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c)
Menemukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau
barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri
meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum
perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksudkan memungkinkan terjadi,
mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat
diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian,
pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan
penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau
surat gugatan perceraian didaftarkan dikepaniteraan (pasal 80 ayat (1) UUPA).
untuk menghindarkan ketidak hadiran pihak-pihak yang berperkara baik penggugat
maupun tergugat yang dijelaskan dalam Pasal 82 UUPA yang merupakan penegasan
pasal 29 ayat (2) dan (3) PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
1)
Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu
diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
2)
Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini
dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan
perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya
gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.
Kalau sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara
tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya
terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena
itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor
penting demi kelancaran pemeriksaan perkara dipersidangan (pasal 142 KHI). Sesudah
perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan
keputusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait (pasal 147 ayat (1) KHI).
Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam
pasal 84 UUPA :
1)
Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang
ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu
helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat
kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam
sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
2)
Apabila
perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat
nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada
bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
3)
Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka
satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di
Indonesia.
4)
Panitera
berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.
Apabila terjadi kelalaian pengiriman salinan keputusan
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang
bersangkutan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu
mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena
itu, amat penting pengiriman salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan
kerugian dari bebagai pihak yang membutuhkannya. Pencatatan dan pengawasan
talak amat penting untuk kedudukan hukum seseorang disamping pencatatan
kelahiran, kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.[14]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas bisa di
simpulkan bahwa untuk melaksanakan pernikahan butuh banyak hal- hal yang harus
di pelajari. Mulai dari mengetahui hak
dan kewajiban suami istri dan
Pengelolaan harta bersama. Dua hal ini
sangat penting untuk di pelajari apabila menginginkan keluarga yang sakinah
mawadah warohmah .
Perkawinan adalahh bersama-sama
hidup di suatu masyarakat dalam suatu ikatan perkawinan yang di landasi cinta
dan ksaih saying. Namun tidak semua yang kita rencanakan akan berjalan sesuai
dengan harapan kita. Terkadang ada permasalahan yang membuat
antara suami dan istri berfikir keras untuk saling memahamkan.
Disisi lain terkadang
permaslahan bisa membuat suami istri untuk cerai . Maka dengan adanya cerai ini
suami istri harus mengetahui Tatacara perceraian.
Bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya
perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
Cerai talak
(suami yang bermohon untuk cerai) yaitu Apabila suami yang mengajukan
permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri
menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal 66. Sedangkan Cerai gugat (istri yang bermohon untuk
cerai) yaitu adalah ikatan
perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri
kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga
pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . ( Jakarta :
Akademika, 1992)
Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Badan Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI,
1991).
Prodjohamdidjojo
Martiman.Hukum perkawinan Indonesia.(
Jakarta : Inonesia Legal Center
Publishing).2007
R.Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Jakarta : Pradnya Pratima, 2004)
Sudarsono,. Hukum
Perkawinan Nasional. Jakarta. P.T Adi Mahasatya. 2005
Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam
Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964).
Usman, Rachmadi, S.H., M.H. Aspek-Aspek
Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.
2006
Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun
1989.( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 )
Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar