• BLOGER SANTRI

    Home

    Senin, 02 Januari 2017

    Makalah Akibat Putusnya Pernikahan




    MAKALAH
    AKIBAT DAN PUTUSNYA PERNIKAHAN
     Dosen :
    Dr. H. Riyanta M.Hum





      Disusun Oleh :
    SUKRON MUZAMIL       (14370037)
                   



    PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
    YOGYAKARTA 



    BAB I
     PENDAHULUAN
    A.     Latar Belakang
    Perlu diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan.  Sehingga hal ini membutuhkan saling memahami antar suami istri, perlu mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap isteri atau hak dan kewajiban isteri terhadap suami.


    Dewasa ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat, apapun alasannya mengapa kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian, mungkin  mereka belum banyak memahami hak dan kewajiban suami terhadap istri atau sebaliknya serta dampak setelah percerian. Maka dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahas hal tersebut secara mendalam.
    B.     Rumusan masalah
    Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang bisa diambil adalah:
    1.      Apa saja hak dan kewajiban suami istri ?
    2.      Bagaimana perceraian itu bisa terjadi? Dan apa saja alasan yang bisa diterima dalam perceraian?
    3.      Apa saja akibat hukum dari perceraian?

    C.     Tujuan Pembuatan Makalah
    Tujuan pembuatan makalah ini ditekankan pada:
    1.      Penjelasan mengenai hak dan kewajiban suami istri,
    2.      Menerangkan tentang proses perceraian dan alasan perceraian,
    3.      Menyebutkan akibat hukum dari percerain yang terjadi.


    BAB  II
        PEMBAHASAN

    1.      Hak Dan Kewajiban Suami Istri
    Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Hak adalah Drs. H. Sidi Nazar Bakry dalam buku karangannya yaitu Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah mendefinisikan kewajiban dengan sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan hak adalah sesuatu yang harus diterima
    Setelah calon suami dan istri menikah, maka mereka mempunyai beban yang di letakkan oleh undang-undang yaitu memikul kewajiban yang luhur, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup dalam masyarakat , mereka tidak boleh diizinkan saling mengekang, menghalangi satu sama lain. Mereka berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
    Undang-undang menetapkan suami sebagai kepala rumah tangga, dia adalah kapten sebuah kapal yang sednag mengarungi samudera yang luas menuju ke pantai bahagia. Sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga. Namun di sisi lain Al-qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 228 menerangkan bahwa para wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki. [1]
    Menurut Kompilasi Hukum Islam Hak Dan Kewajiban Suami Isteri di atur pada BAB XII terdapat pasal 77,80 dan 83 sebagai berikut :
    (1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk  menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat 
    (2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;
    (3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
    (4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
    (5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
    Menurut KUH Perdata Hak dan Kewajiban Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Bab VI yang berbunyi :
    Pasal 30
    Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
    Pasal 31
    (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam  kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
    (2) Masing-masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan hukum.
    (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
    Pasal 32
    (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
    (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama
    Pasal 33
    Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
    Pasal 34
    (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
    (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
    (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masi dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
    2.      Pengelolaan Harta Secara Pribadi
    Tujuan perkawinan adalahh bersama-sama hidup di suatu masyarakat dalam suatu ikatan perkawinan. Salah satu syarat untuk tetap hidup , manusia membutuhkan makanan, minuman dan pakaian. Pendek kata manusia membutuhkan harta kekayaan yang di gunakan suami istri untuk bertahan hidup.
    Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang harta benda dalam perkawinan hanya di atur oleh pasal 35,36 dan 37  Undang- Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, yaitu :
    -         Harta Bawaan
    -         Harta bersama suami istri
    -         Bila terjadi perceraian , harta di atur menurut hukumnya masing-masing yaitu Hukum Agama, Hukum adat, Hukum lainnya.
    Di Indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan, yang satu sama lain berhadapan secara diam artinya berseberangan satu sama lain, Yakni : Hukum Islam dan Hukum BW.
    Menurut Hukum Islam kekayaan suami istri masing-masing terpisah satu dengan lainnya. Harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perkawinan di mulai ( berjalan ) tetap menjadi milikinya masing-masing.
    Sedangkan menurut Hukum BW kekayaan suami istri apabila tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara mereka maka akibatnya ialah percampuran kekayaan suami istri menjadi milik satu kekayaan milik orang berdua bersama-samadan bagian masing-masing kekayaan itu adalah separuh.
    Sementara menurut Hukum Adat , kekayaan suami istri adalah tengah-tengah antara sistem hukum Islam dan sistem hukum BW., artinya kemungkinan dalam suatu perkawinan sebagian dari kekayaan masing-masing suami dan istri terpisah satu dari yang lain. Dan ada kemungkinan bahwa harta suami istri akan tercampur.


    3.      Katagori Anak Keturuan Yang Sah Dan Tidak Sah 
    Tujuan perkawinan adalah membentuk kehidupan masyaraka yang kecil yaiu antara suami, istri dan anak-anak mereka yang harmonis. Anak adalah hasil perhubungan antara suami dan istri. Untuk membuktikan siapakah ibunya anak lebih mudah daripada pembuktian siapakah ayah/bapaknya.
    Menurut hukum BW, dengan perkawinan suami istri memperoleh keturunan. Yang di maksud dengan “ keturunan” di sini adalah hubungan darah antara bapak, ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak, ibu dan anak ada hubungan biologis. Anak-anak yang di lahirkan dari hubungan biologis ini dan di tumbuhkan sepanjang perkawinan adalah anak-anak sah.Sedangkan anak-anak lain yakni anak-anak yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak terikat dengan perkawinan di sebut anak tidak sah atau anak di luar nikah. Jadi terhadap anak yang lahir di luar nikah terdapat hubungan biologis hanya dengan ibunya tetapi tidak ada hubungan biologis dengan ayahnya.
    Menurut hukum islam , anak yang sah adalah anak yang  di lahirkan akibat persetubuhan setelah di lakukan nikah. Untuk mengetahui anak itu sah , disini Al-qur’an memberikan petunjuk kepada manusia dengan firman “ kami perintahkan manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah. Dan mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. ( Al-Ahqaf ayat 15 . Jadi masa hamil dan masa menyusui itu selama 30 bulan atau dua tahun enam bulan. Sedangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 233 menjelaskan masa menyusui bagi anak yang di lahirkan oleh ibunya tersebut adalah dua puluh empat bulan atau dua tahun. Biasanya anak anggap sudah Baligh yaitu usia 15 th.
    Sedangkan menurut Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974 hal kedudukan anak di atur dalam pasal 42-44. Dikatakan “ anak sah ” adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, sedangkan “ anak diluar nikah” adalah anak yang do lahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[2]
    4.      Hubungan Darah

    Menurut pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya, yang dituangkan dalam akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran dimaksud didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini, setiap anak diwajibkan untuk memiliki identitas diri yang dibuktikan dengan akta kelahiran dan ini menjadi kewajiban orang tua atau orang yang menemukannya.
    Kewajiban Orang Tua terhadap Anak
    Berdasarkan ketentuan dalam pasal 45 UUP, dinyatakan bahwa:
    (1)   Kedua orang tua wajib untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
    (2)   Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
    Dalam hukum Islam, seorang ibu jauh lebih berhak terhadap pemeliharaan anak dari seorang ayah. Lebih diutamakan ibunya daripada ayah dalam pemeliharaan ini berlaku sejak anak itu dilahirkan. Oleh karena itu, ayah tidak mempunyai hak memisahkan anak dari ibunya disaat anak itu masih menyusu, sedangkan keperluan anak kepada ibunya sesudah menyusu tidak kurang dari kebutuhan diwaktu masih menyusu.
    Masa mengasuh anak menurut mazhab hanafi habis kalau anak itu sudah tidak membutuhkan pemeliharaan wanita dan sudah sanggup melaksanakan apa-apa keperluannya yang vital. Untuk anak putri diperpanjang sampai ia dewasa, tanpa adanya ketentuan berapa tahun umurnya menurut pendapat yang lama.
      Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam, yang menetapkan bahwa batas pemeliharaan anak sampai usia dewasa atau mampu berdiri sendiri dalah 21 tahun, sepanjang anak itu tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kemudian menurut ketentuan dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, bahwa pemeliharaan anak belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun dalam hal terjadinya perceraian adalah hak ibunya. Bagi yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Semua biaya pemeliharaan anak tadi ditanggung oleh ayahnya.
    Orang tua juga dituntut untuk menyelenggarakan nafkah bagi anak-anaknya sesuai dengan kemampuan dan kadar rezeki yang ada padanya. Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk memberi nafkah kepada anak-anak dan ibunya, sedangkan ibunya berkewajiban untuk mengasuh, memelihara, dan mendidik anak-anaknya tersebut. Tugas penyapihan atau penyususan paling lama 2 tahun dan dapat dihentikan sebelum 2 tahun jika ada persetujuan di antara kedua suami istri. Apabila untuk jangka waktu tersebut, ibunya tidak sanggup menyusui anaknya, maka atas kesepakatan bersama dapat saja dialihkan kepada orang lain dengan memberikan upah yang patut kepada ibu susuannya. Istri yang dicerai dapat menuntut agar suaminya memberi upah yang patut atas penyapihan atas penyususan anaknya tersebut.

    5.      Putusnya Perkawinan
    Istilah ‘putus’ dapat diganti istilah lain (ander word), yaitu “penghentian” atau “pecah” perkawinan, tiga istilah tersebut mempunyai pengertian (makna) sama. “Pecah” menurut kamus berarti terbelah menjadi beberapa bagian; retak; atau rekah; bercerai berai; sedang “putus” berarti tidak berhubungan lagi; berpisah, selesai atau rampung dan “henti” berarti stop, tidak boleh jalan.
    Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38 UUP mengenai penyebab putusnya perkawinan, ditetapkan bahwa:
    “perkawinan dapat putus karena:
    a.       Kematian;
    b.      Perceraian; dan
    c.       Atas keputusan pengadilan.”
    a.      Putusnya Perkawinan karena Kematian
    Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya hubungan perkawinan dikarenakan salah seorang dari suami istri meninggal dunia. Secara hukum sejak meninggal dunianya salah seorang suami istri, putuslah hubungan perkawinan mereka. Suami atau istri yang masih hidup dibolehkan untuk menikah lagi, asal memenuhi kembali syarat-syarat perkawinan.
    b.      Putusnya Perkawinan karena Perceraian
    Putusnya hubungan perkawinan karena perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap istrinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut agama Islam, yang dapat pula disebut dengan “cerai talak”. Cerai talak ini selain diperuntukkan bagi seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya, juga dapat dimanfaatkan oleh istri jika suami melanggar perjanjian taklik talak.
    Dalam Pasal 39 UUP dinyatakan:
    (1)   Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
    (2)   Untuk melakukan perceraian itu, harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
    Dalam hukum Islam, jika terjadi perselisihan yang tajam antara suami istri, hendaklah hendaknya istri jangan buru-buru minta talak atau suami segera menjatuhkan talak. Islam mengajarkan, bahwa talak itu baru bisa dijatuhkan apabila dua juru pendamai (hakam) yang masing-masing diangkat dari pihak keluarga suami dan istri ternyata tidak berhasil dalam usahanya untuk mendamaikan kedua suami istri itu mengenai hal yang menjadi perselisihan di antara mereka. Diaturnya cara yang demikian sebagai upaya untuk mempersukar terjadinya perceraian. Perbuatan perceraian walaupun suatu perbuatan yang halal, tetapi tidak disenangi oleh Allah SWT.
    Hakam yang diberi tugas untuk menyelesaikan dan mendamaikan suami istri yang berselisih itu juga harus bertindak dan bersikap jujur dan adil, tidak boleh memihak pada salah satu dari suami istri yang dihakaminya, sehingga mengakibatkan kesimpulan yang diambil bernilai subyektif dan lebih mengarah kepada percepatan terjadinya perceraian. Juru damai harus berupaya mendamaikan mereka kembali, jangan sampai memilih peceraian sebagai alternatif terbaik bagi mereka.
    Berdasarkan perspektif hukum Islam, jenis-jenis talak atau perceraian dapat dibedakan atas:
    a. Apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami merujuk istrinya kembali, maka jenis-jenis talak itu meliputi:
    1.      Talak raj’i, yakni talak yang dijatuhkan suami, di mana suami berhak rujuk selama istri masih dalam masa iddah tanpa harus melangsungkan akad nikah baru. Talak seperti ini adalah talak kesatu atau talak kedua.
    2.      Talak ba’in, terdiri atas:
    i.      Talak ba’in sughraa (kecil), yakni talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah, seperti talak yang terjadi sebelum adanya hubungan seksual (qabla al-dukhul), talak dengan tebusan, atau khuluk dan talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
    ii.     Talak ba’in kubraa (besar), yakni talak yang tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, seperti talak yang terjadi untuk ketiga kalinya dan talak sebab li’an.
    b.      Apabila ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka jenis-jenis talak itu meliputi:
    1.      Talak sunni (halal), yakni talak yang diperbolehkan yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
    2.      Talak bid’i (haram), yakni talak yang dilarang yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
    Ketentuan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pengulangan bunyi Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP menyebutkan alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi perceraian, yaitu:
    a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,  dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    b.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
    c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan yang membahayakan terhadap pihak lain;
    e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
    f.        Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
    Selain itu, ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan alasan lainnya yang dapat dijadikan dasar bagi perceraian, yakni:
    a.       Suami melanggar taklik talak;
    b.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga.
    Penyebutan alasan-alasan perceraian dalam pasal-pasal perundang-undangan dimaksud bersifat limitatif, maksudnya membatasi kemungkinan putusnya perkawinan dengan perceraian.
    c.       Putusnya Perkawinan karena atas Keputusan Pengadilan
    Putusnya perkawinan karena atas keputusan pengadilan adalah putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan adanya gugatan perceraian seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam atau yang disebabkan adanya gugatan perceraian seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, yang dinamakan dengan “cerai gugat”.

    6.      Alasan-alasan Perceraian
    Dalam sebuah pernikahan untuk menyatukan sepasang suami istri pasti selalu terdapat perbedaan, dalam Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomi, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup, dan sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.
    Munculnya pandangan hidup yang berbeda antara suami dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecenderungan hati pada masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.
    Dari hal tersebut tidak banyak yang bertahan utuh dalam segi rumah tangganya yang akhirnya berujung perceraian, banyak alasan-alasan yang menjadi faktor terjadinya sebuah perceraian. Di antaranya terdapat dalam KUH Perdata pasal 209 “alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah dan hanyalah sebagai berikut” :
    1)      Zinah ,
    2)      Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat.
    3)      Penghukuman dengan penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang di ucapkan setelah perkawinan.
    4)      Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si istri terhadap istri atau suaminya, yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.[3]
    Sama halnya dengan alasan-alasan perceraian yang tertera dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah yaitu :
    1)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
    3)      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
    4)      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayan berat yang membahayakan pihak yang lain.
    5)      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
    6)      Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[4]
    1. Tata Cara Perceraian ( Talak dan Gugat)
    Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian, kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan pasal 115 KHI.[5] Masalah perceraian memiliki mekanisme  serta cara-cara yang diatur  secara lengkap dan menyeluruh di dalam undang-undang, sehingga lebih menjamin adanya kepastian hukum di dalam perceraian.[6]
    Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
    a.       Cerai talak (suami yang bermohon untuk cerai)
    Apabila suami yang mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal 66 UUPA :
    1.      Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
    2.       Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
    3.      Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
    4.      Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama Jakarta pusat.
    5.      Permohonan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.[7]

    Sesudah permohonan cerai talak diajukan kepengadilan agama, pengadilan agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut, sebagai mana tersebut dalam :
    Pasal 68
    1)      Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.
    2)      Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.[8]
    Pasal 131 KHI
    1)      Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
    2)      Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan agama menjatuhkan keputusanya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
    3)      Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama, disaksikan oleh istri atau kuasanya.
    4)      Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalm tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan pengadilan agama tentang izin ikrar talak  baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.
    5)      Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pengawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami istri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama.[9]

    b.      Cerai gugat (istri yang bermohon untuk cerai)
    Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Oleh karena itu khulu’ termasuk cerai gugat. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Sebagaimana disebutkan dalam :
    Pasal 73 UUPA
    1)      Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
    2)       Dalam hal penggugat bertempat kediaman diluar negri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
    3)      Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepengadilan agama Jakarta pusat.[10]
    Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan :
    1)      Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan keputusan pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 74 UUPA). Akan tetapi jika gugatan diajukan atas alasan tersebut ternyata putusan pidananya belum memiliki kekuatan hukum tetap maka dikatakan masih terlampau “premature” artinya belum saatnya alasan tersebut dapat diajukan sebagai dasar gugat perceraian. Penggugat harus sabar menunggu sampai putusan pidana mempunyai hukum tetap, gugatan dinyatakan tidak diterima.
    2)      Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kedokter (Pasal 75 UUPA).[11]

    Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim. (Pasal 76 ayat (2) UUPA).[12] Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggungat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah, Menurut pasal 77 UUPA menyebutkan bahwa tata cara pemberian izin dapat atas permohonan istri atau pertimbangan pengadilan sendiri.[13]
    Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat :
    a)      Menerima nafkah yang ditanggung suami.
    b)       Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
    c)       Menemukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri Pasal (78 UUPA).
    Gugatan tersebut gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Namun, bila terjadi perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya perdamaian dimaksudkan memungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang. Lain halnya bila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

    Mengenai pelaksanaan sidang pemeriksaan gugatan penggugat dimulai selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan dikepaniteraan (pasal 80 ayat (1) UUPA). untuk menghindarkan ketidak hadiran pihak-pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat yang dijelaskan dalam Pasal 82 UUPA yang merupakan penegasan pasal 29 ayat (2) dan (3) PP No 9 Tahun 1975 sebagai berikut :
    1)      Dalam penetapan waktu sidang gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
    2)      Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti ini dalam keadaan seperti dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian diterapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan agama.

    Kalau sidang pemeriksaan perceraian dilakukan secara tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, kehadiran pihak-pihak yang berperkara atau wakil/kuasanya menjadi faktor penting demi kelancaran pemeriksaan perkara dipersidangan (pasal 142 KHI). Sesudah perkara perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka salinan keputusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait (pasal 147 ayat (1) KHI).

    Selain salinan putusan dikirim kepada suami istri tersebut dijelaskan dalam pasal 84 UUPA :
    1)      Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.
    2)       Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan.
    3)      Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada pegawai pencatat nikah ditempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.
    4)       Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak.

    Apabila terjadi kelalaian pengiriman salinan keputusan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 84 menjadi tanggung jawab panitera yang bersangkutan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya. Oleh karena itu, amat penting pengiriman salinan putusan dimaksud. Sebab, akan mendatangkan kerugian dari bebagai pihak yang membutuhkannya. Pencatatan dan pengawasan talak amat penting untuk kedudukan hukum seseorang disamping pencatatan kelahiran, kematian serta pencatatan-pencatatan lainnya.[14]








    BAB III
    PENUTUP
    Kesimpulan
             Dari pemaparan di atas bisa di simpulkan bahwa untuk melaksanakan pernikahan butuh banyak hal- hal yang harus di pelajari. Mulai dari  mengetahui hak dan kewajiban suami istri  dan Pengelolaan harta bersama.  Dua hal ini sangat penting untuk di pelajari apabila menginginkan keluarga yang sakinah mawadah warohmah .
               Perkawinan adalahh bersama-sama hidup di suatu masyarakat dalam suatu ikatan perkawinan yang di landasi cinta dan ksaih saying. Namun tidak semua yang kita rencanakan akan berjalan sesuai dengan harapan kita. Terkadang ada permasalahan yang  membuat  antara suami dan istri berfikir keras untuk saling memahamkan.
    Disisi lain terkadang permaslahan bisa membuat suami istri untuk cerai . Maka dengan adanya cerai ini suami istri harus mengetahui Tatacara perceraian.  Bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu :
    Cerai talak (suami yang bermohon untuk cerai) yaitu Apabila suami yang mengajukan permohonan kepengadilan untuk menceraikan istrinya, kemudian sang istri menyetujui disebut cerai talak. hal ini diatur dalam pasal 66. Sedangkan Cerai gugat (istri yang bermohon untuk cerai) yaitu  adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri kepengadilan agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud.









    DAFTAR PUSTAKA
    Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . ( Jakarta : Akademika, 1992)
    Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI, 1991).
    Prodjohamdidjojo Martiman.Hukum perkawinan Indonesia.( Jakarta : Inonesia  Legal Center
               Publishing).2007
    R.Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Pratima, 2004)
    Sudarsono,. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta. P.T Adi Mahasatya. 2005
    Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964).
    Usman, Rachmadi, S.H., M.H. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. 2006
    Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989.( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 )
    Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)





           [1] Martiman prodjohamdidjojo. “ Hukum perkawinan Indonesia”. ( Jakarta : Inonesia  Legal Center Publishing). ha  31-32.
                   [2] Ibid. hal 52-55
                 [3] Prof.R.Subekti. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Pratima, 2004) Hal.51
                  [4] Drs.Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Hal.173
              [5] Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) Hal.80
              [6] Drs.Susarsono. Hukum Perkawinan Nasional. ( Jakarta : Rineka Cipta, 2005) Hal.171
             [7] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI, 1991). Hal. 22-23.
            [8] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Ibid. Hal. 23
             [9] Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . ( Jakarta : Akademika, 1992) Hal.143-144
            [10] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25
            [11] Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 ). Hal. 240-241.
            [12] Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit. Hal. 25.
            [13] Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 256
             [14] Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964) Hal. 86

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Translite

    My Picture

    My Picture
    Muda berkarya

    My Home

    PP. Wahid Hasyim Jl. Wahid Hasyim no 3 GatenCondongcatur Depok Sleman Yogyakarta


    ----------------------------------------------------------------------------------------------------

    Jl. Dandheles Jogoboyo Purwodadi Purworejo Jawa Tengah